16 August 2010

Hizbut Tahrir dan Majlis Mujahidin Indonesia

Eksistensi Hukum Islam sejak masa penjajahan sampai sekarang, telah mengalami reduksi dan eliminasi sehingga mengakibatkan polemik dibidang politik yang berkepanjangan antara umat Islam dan elemen-elemen bangsa lainnya. Keberadaan paham kebangsaan, dengan dalih pluralism dan nasionalisme, selalu menjadi ganjalan setiap kali ada usaha memasukkan unsure-unsur syariat Islam kedalam ideologi negara melalui rancangan perubahan konstitusi atau perundangan lainnya.
Namun, atas dasar keinginan untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi dan kewajiban menjalankan syariat Islam berdasarkan perintah-Nya, umat Islam Indonesia terus berupaya memperjuangkan penerapan syariat Islam untuk mewujudkan cita-cita besar mereka, yaitu terbentuknya masyarakat madani. Secara politis-ideologis ditingkat konstitusi, diyakini sudah tidak memungkinkan ideologi politik bangsa diubah berdasarkan syariat Islam karena akan berbenturan dengan berbagai elemen bangsa yang sangat beragam.
Disisi lain, secara politis-yuridis, melalui proses formalisasi hukum syariat Islam dengan memasukkan unsure-unsur hukum Islam kedalam system tata hukum Indonesia, masih sangat memungkinkan syariat Islam dapat ditegakkan. Keberpihakan pemerintah terhadap umat Islam sejak era reformasi untuk melegislasi syariat Islam, walaupun masih sebatas wilayah hukum privat yang berkenaan dengan ubudiah dan muamalah, merupakan angin segar yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Dalam dimensi lain, keberpihakan pemerintah terhadap umat Islam tidak memuaskan sebagian umat Islam, sehingga banyak tuntutan yang lahir dari banyak kalangan Islam radikal tentang pemberlakuan syariat Islam secara kaffah. Gerakan-gerakan Islam radikal di Indonesia timbul karena adanya isu-isu demokrasi dan globalisasi.
Respon tersebut menimbulkan banyak varian, tapi dalam praktiknya mereka memasukkan empat unsure, yaitu aspek purifikasi agama, pemikiran sosial-pilitik, metode pendidikan, dan metode pemikiran. Di antara gerakan-gerakan Islam radikal tersebut, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

Sejarah Berdirinya Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir didirikan oleh Syaikh Taqiyuddin Nabhani (1909-1979 M.) -kelahiran Ijzim, sebuah kampung didaerah Haifa Palestina- di Yarussalem pada tahun 1952 . dengan konsentrasi penuh ia memimpin partai, menerbitkan buku dan brosur-brosur yang secara keseluruhan merupakan sumber pengetahuan pokok partai. Sepeninggal Nabhani, Hizbib dipimpin oleh Abdul Qadim Zallum.
Sejak pendiriannya, Hizbut Tahrir mengklaim dirinya sebagai partai politik. Namun berbeda dengan partai politik pada umumnya, Hizbut Tahrir adalah partai politik Islam yang berbasis pada transnasionalisme. Pengakuan ini berhubungan dengan cita-cita politiknya yang mengupayakan seluruh Dunia Islam berada dalam satu system kekuasaan politik yang disebut Khilafah. Hizbut Tahrir berusaha memerdekakan negeri-negeri kaum muslim diseluruh dunia dari cengkraman berbagai ideologi termasuk di dalamnya nasionalisme yang dianggap bertentangan dengan agama.
Hizbut Tahrir (sesuai namanya) berprinsip dasar pada kebebasan yaitu terbebas dari doktrin-doktrin Islamisme yang lama serta menolak pemimpin yang dipilih berdasarkan sistem demokrasi termasuk pemilihan umum dengan melakukan propaganda bertujuan untuk menggabungkan semua negara Muslim untuk melebur ke dalam sebuah negara yaitu berdasarkan doktrin Sistem Islam yang disebutnya sebagai Negara Islam atau Unitariat Khalifah. Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir. Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah Swt dapat diberlakukan kembali.Lebih Jelasnya silahkan Download Selengkapnya
  • DISINI
  • Khalid Abu Al Fadel

    Untuk melihat lebih jauh pemikiran seorang tokoh, tidak terlepas dari pengkajian terhadap biografi ataupun latar belakang kehidupannya mengingat seseorang adalah produk zaman maupun lingkungan di mana ia hidup. Hanya saja terkait dengan biografi Khaled Abou el-Fadl sepengetahuan penulis belum terdapat satu buku yang ditulis oleh para ilmuwan yang memuat biografi Khaled. Maka penulis dalam hal ini mengelaborasi antara artikel yang ditulis oleh Hasan Basri Marwah dengan biografi singkat beliau yang tertulis disetiap cover karya tulisnya.
    Khaled lahir di Kuwait pada tahun 1963 dari keluarga terdidik yang sederhana. Orang tuanya adalah muslim yang taat dan sangat terbuka dalam bidang pemikiran. Diakuinya dengan jujur, bahwa pada masa remaja ia terlibat dalam gerakan puritanisme yang memang subur di lingkungannya. Hari-harinya dipenuhi dengan utopia tentang sebuah kelompok terbaik dan kelompok yang mewakili Tuhan di atas bumi. Selain itu, setiap kali bertemu dengan orang, dia menyampaikan ajaran puritanisme yang dianggapnya paling benar. Tak terasa sebagian masa remajanya habis tersedot oleh mimpi puritanisme yang membuatnya benci, tertutup, dan marah-marah pada orang lain di luar kelompoknya.
    Dengan bacaan yang luas mengenai tradisi Islam dan dukungan keluarga Khaled mulai menyadari adanya kontradiksi dan persoalan akut di dalam konstruksi ideologis dan pemikiran kaum Wahabi. Klaim mereka atas banyak masalah justru bertentangan dengan semangat ulama masa lalu dalam memandang agama Islam. Kesadaran akan pentingnya keterbukaan dalam pemikiran semakin berkembang ketika akhrinya dia menetap di Mesir. Di negeri Piramid tersebut ruang tidak terlalu sesak seperti yang dialaminya di Kuwait. Menurutnya, sebuah sistem kekuasaan yang represif dan otoriter tidak akan pernah melahirkan kemajuan berfikir atau pencerahan intelektual bagi masyarakatnya.
    Ketika menempuh pendidikan lanjutan di Yale University, Amerika Serikat untuk meraih B.A (Bachelor of Art) kegelisahan mengenai puritanisme Islam terus menjadi beban yang tak terhapuskan. Namun tugas-tugas belajar menyedot energinya. Selepas dari Yale tahun 1986 Khaled melanjutkan ke University of Pennsylvania yang diselesaikan pada tahun 1989. Pada tahun 1999 dia melanjutkan ke Princeton University dengan spesialisasi dalam bidang Islamic Studies yang pada saat bersamaan ia harus menempuh studi Hukum di UCLA. Akhirnya di UCLA pula ia membangun karir kesarjanaan dalam bidang Hukum Islam. Selama menempuh kuliah Khaled sempat menjadi Panitera di Pengadilan negara bagian Arizona. Pernah juga menjadi praktisi hukum dalam masalah hukum imigrasi dan investasi.
    Saat ini beliau menjadi profesor hukum Islam di UCLA, Amerika Serikat serta menjadi salah satu pengajar di Princeton, University of Texas, dan Yale university. Selain kegiatan tersebut beliau juga menjadi seorang aktivis dalam bidang HAM dan hak-hak Imigran. Selama beberapa tahun terlibat sebagai board name pada Directors of Human Rights Watch dan Comission on International Relegious Freedom di Amerika Serikat.
    Di kenal oleh banyak teman dekatnya sebagai penggemar musik, terutama musik Arab. Dia penggemar berat legenda Diva Arab (sayyidah al-Ginaa ) Ummi Kultsum. Sambil mendengarkan musik, hari-harinya diisi dengan membaca koleksi buku-bukunya yang mencapai kurang lebih 40.000 koleksi di perpustakaan pribadinya.

    Kegelisahan Akademik
    Puritanisme merupakan persoalan yang seakan menjadi beban dalam kehidupan seorang Khaled, hal ini seperti tampak dalam uraiannya mengenai puritanisme yang beliau tuangkan dalam karya tulisnya selamatkan islam dari muslim puritan. Beberapa kritikan terhadap paham keagamaan kaum puritan yang dalam hal ini adalah keagamaan kaum wahabi terurai berhalaman-halaman dalam karya tersebut.
    Berbeda dengan nuansa sebelumnya, dalam karya atas nama tuhan ini, tampaknya yang menjadi kegelisahan beliau adalah maraknya otoritarianisme dalam diskursus islam kontemporer, padahal menurutnya sikap otoritarianisme para elit agama sangatlah bertentangan dengan tradisi hukum islam klasik yang antiotoritarianisme.
    Sikap otoriter para elit agama berangkat dari penuhanan terhadap interpretasi atas teks yang pada gilirannya timbul anggapan bahwa tafsirannya adalah satu-satunya interpretasi yang dikehendaki oleh pembuat teks. Padahal seperti dikatakan Amin Abdullah, ketika proses pemahaman teks yang sesungguhnya bersifat interpretatif dibatasi oleh para elit agama yang mengatas namakan tuhan, maka sebenarnya ia telah terjerumus ke dalam sifat despotisme interpretasi.
    Persoalan inilah yang menurut Khaled telah dipertontonkan oleh sebuah lembaga keagamaan ternama di Arab Saudi yang diberikan kepercayaan untuk mengeluarkan fatwa-fatwa, yaitu CRLO (Council For Scientific Research And Legal Opinion) atau dalam bahasa Arab diistilahkan dengan al-Lajnah Daimah Li Buhutsi al-Ilmiyyah Wa al-Ifta yaitu semacam sebuah lembaga yang dipercaya untuk melakukan sebuah kajian ilmiah dan fatwa.
    Lebih Jelasnya silahkan Download Selengkapnya
  • DISINI
  • Islam, Politik dan Perempuan

    Setiap manusia memiliki hak dasar atas eksistensi kemanusiaannya, yang terangkum dalam al-kulliyyah al-khamsah yang meliputi hak beragama (hifdz al-din), hak hidup (hifdz al-hayah), hak berketurunan (hifdz al-nasl), hak berfikir (hifdz al-aql) dan hak atas harta dan memperoleh sarana kehidupan (hifdz al-mal). Manusia sebagai mahluk Tuhan yang bermartabat, memiliki multi predikat, yakni sebagai mahluk terbaik dan termulia, pemegang amanah, bertanggung jawab, memiliki hak pilih bebas, menyandang kelemahan, menyandang peran ganda serta menyimpan fitrah ber-Tuhan.
    Untuk merealisasikan predikatnya di atas, Tuhan menyediakan sarana yang diperuntukkan manusia, dalam rangka mengemban tugas dan amanah sebagai khalifah, yang memiliki kewajiban untuk memakmurkan bumi dan mensejahterakan hidup. Dengan demikian, ia memiliki tanggung jawab terhadap segala jalan hidup (gelap-terang) yang telah menjadi pilihannya. Di sinilah jiwa manusia diuji, apakah ia mampu mendominasikan potensi konstruktif (taqwa) atau sebaliknya mendominasikan potensi destruktifnya (fujur), yang mengantarkannya ke jalan kehidupan yang penuh la’nat.
    Oleh karena itu, diperlukan maksimalisasi fungsi pikir, dzikir dan kreativitas setiap manusia, yang berbasis pada nilai-nilai Ilahi. Dengan adanya eksploitasi terhadap perempuan, berarti ada pengingkaran dan perampasan terhadap hak dasar setiap orang bahwa ia memiliki kebebasan dan kemerdekaan berfikir dan berkreativitas (hifdz al-’aql), tidak sebaliknya menjadi obyek dan kreativitas terpasung oleh sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan perempuan marjinal dan subordinate.
    Penafsiran terhadap QS. 4:34, butir ayat yang berbicara tetang posisi dan kepemimpinan laki-laki atas perempuan, marupakan satu masalah yang sering dijadikan contoh oleh kalangan feminis muslim untuk menunjukkan bagaimana diskriminatifnya penafsiran tradisional terhadap perempuan. Bias gender berupa penempatan laki-laki di atas perempuan, selanjutnya menandai bagaimana penafsir selalu berusaha menempatkan laki-laki pada possisi superior. Karenanya, para feminis muslim menyepakati tentang perlunya memahami ayat ini melalui pendekatan kontekstual, dengan tidak hanya terpaku pada makna literalnya serta mengkaji konteks asbabul wurud-nya.
    Jika pada umumnya mufassir klasik (dari mazhab apapun) --lewat pemahaman mereka terhadap ungkapan qawwam-- menggunakan ayat ini sebagai sebuah legalitas normatif kepemimpinan laki-laki atas perempuan --dalam rumah tangga saja atau sekaligus dalam milleau dan aspek yang lebih luas, maka menurut Asghar Ali Engineer, dengan hanya bersandar pada aspek literal ayat ini tidak cukup untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an memutlakkan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan.

    Apabila memperhatikan dua konsideran ayat tersebut (bima faddhalallahu ba'dhahum 'ala ba'dhin wa bima anfaqu min amwalihim) dan mengaitkannya dengan QS.2:228, maka sebenarnya ayat tersebut hanya berbicara tentang kepemimpinan rumah tangga (suami terhadap istri) dan inipun hanya dalam konteks fungsi ekonomisnya. Konsideran ayat tersebut adalah kalimat bima faddhalallahu ba'dhahum 'ala ba'dhin dan bukan bima faddhalallahu ba'dhahum 'ala ba'dhihinna, merupakan respon A-Qur'an terhadap fenomena bahwa tidak semua laki-laki memiliki kelebihan atas yang lain (atas laki-laki maupun perempuan). Hal ini dimungkinkan ada sebab cacat jasmaninya sehingga si laki-laki tersebut tidak mampu memberikan nafkah terhadap keluarga, atau cacat rohani sehingga tidak mampu memimpin keluarganya dan sebagainya. Dengan demikian, menurut penafsiran kontekstual, kepemimpinan laki-laki atas perempuan juga bersifat kontekstual. Sebagai konsekuensinya, perempuan bisa menjadi pemimpin, baik dalam keluarga maupun dalam jabatan-jabatan di sektor publik, seperti jabatan politik.
    Interpretasi yang menganggap bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan tersebut normatif sifatnya, mendukung interpertasinya dengan Hadis Nabi tentang tidak sejahteranya sebuah bangsa yang menyerahkan kepemimpinannya pada kaum perempuan (HR. Al-Bukhari). Hadis tersebut sesungguhnya bisa dimaknai dalam konteks sebagai berikut: pertama, hadis tersebut berlaku khusus, yakni respon basyariah (aspek kemanusiaan) Nabi terhadap pengangkatan putri Kisra, Bahram binti Kisra sebagai kaisar yang menggantikannya; kedua, hadis tersebut bersifat informatif sehingga tidak memiliki relevansi hukum jika ditarik sebagai justifikasi larangan kepemimpinan perempuan secara umum; ketiga, kapasitas dan kapabilitas putri Kisra perlu dipertanyakan mengingat situasi dan kondisi secara umum masyarakat Persia saat itu, yang tidak memberikan keleluasaan kepada perempuan untuk mengakses dunia publik; keempat, beberapa kalangan --terutama kalangan feminis muslim-- juga mempertanyakan status dan validitas hadis tersebut, baik dari aspek sanad maupun matannya. Meskipun penulis berkeyakinan akan kesahihan validitas sanad hadis tersebut, namun pemahaman kontekstual, dengan mengkaji secara serius aspek-aspek yang mendasari atau melatari munculnya teks hadits (asbab wurud al-hadits) sebagaimana yang digagas al-Syafi'i perlu menjadi pertimbangan penting.
    Jika pada masa awal-awal kelahirannya, Islam identik dengan isu dan wacana pembebasan perempuan, maka kini ada kecenderungan "warna" Islam yang identik dengan pembatasan terhadap perempuan. Di penghujung abad ini banyak negara Islam melakukan revolusi dan reformasi dengan mengambil tema keislaman. Namun demikian, seringkali yang terjadi di pasca-revolusi dan reformasi adalah pengekangan terhadap perempuan. Islamisasi suatu negara seolah-olah berarti “merumahkan” perempuan atau jilbabisasi perempuan. Iran, Pakistan, Aljazair, dan Afganistan dapat menjadi contoh dari fenomena tersebut. Bagaimana Islam dijadikan dalil untuk mencopot pegawai negeri di sejumlah daerah di Afghanistan dengan alasan perempuan tidak boleh bekerja di bidang publik.
    Lebih Jelasnya silahkan Download Selengkapnya
  • DISINI

  • Muhammad Syahrur

    Muhammad Syahrur ibn Daib lahir di Damaskus, Syiria,11 April 1938. pendidikannya diawali di sekolah Ibtidaiyah, Iddadiyah dan Tsanawiyah, di Damaskus. Syahrur memperoleh ijazah Sanawiyah di Abdurrahman al-kawakib (1957). pada tahun 1958 dengan beasiswa dari pemerintah Damaskus, Syahrur hijrah ke Uni Soviet untuk studi teknik sipil di Moskow dan menyelesaikan diplomanya pada 1964. di tahun 1965, syahrur kembali ke Syiria dan mengajar di Universitas Damaskus. Kemudian oleh pihak universitas, ia dikirim ke Irlandia untuk studi pascasarjana dalam spesialisasi mekanika tanah dan teknik fondasi pada Ireland National University. Gelar Master of Science diperoleh pada 1969, dan gelar Doktor pada 1972. Syahrur, hingga sekarang, masih tetap tercatat sebagai tenaga edukatif pada fakultas teknik sipil Universitas Damaskus tersebut dalam bidang mekanika tanah dan geologi.
    Namun, Syahrur yang berlatar belakang teknik, ternyata meminati juga secara mendalam masalah-masalah keislaman. Hal ini sebagaimana diwujudkannya dalam Al-Kitab wa al-Qur‘an. Buku inilah sebenarnya yang telah membuat namanya melejit dalam kancah blantika pemikiran islam. Renungan dalam buku ini ternyata tidak tanggung-tanggung, sebab ditulisnya waktu yang cukup lama, 20 tahun Di bidang spesialisasinya sendiri, Syahrur sebetulnya juga termasuk menonjol, khususnya di negaranya sendiri, sebab pada 1972, bersama rekan-rekannya, ia membuka biro konsultasi teknik Dar al-Istisyarat al-Handasiyah di Damaskus, dan kemudian pada 1982-1983 kembali fihak universitas mengirimnya ke luar negeri sebagai tenaga ahli pada Al-Saud,Arab Saudi.

    Fase-fase pemikiran Syahrur
    Fase ini bermula saat syahrur mengambil jenjang magister dan doktol dalam bidang tekhnik sipil di universitas nasional irlandia di dublin. Fase ini adalah fase kontemplasi dan peletakan dasar pemahamannya dan istilah-istilah dasar al-Qur’an sebagai az-Zikr. Dalam fase ini belum membuahkan hasil pemikiran terhadap az-Zikr. Hal ini disebabkan karena pengaruh pemikiran-pemikiran taklid yang diwariskan dan ada dalam khazanah karya islam lama dan modern, disamping cenderung pada islam sebagai ideologi (aqidah) baik dalam bentuk kalam maupun fiqh mazhab. Selain itu, dipengaruhi oleh konteks sosio-kultur masyarakat yang melingkupi ketika itu.
    Dalam kurun waktu 10 tahun tersebut, syahrur mendapati beberapa hal yang selama ini dianggap sebagai dasar islam, namun ternyata bukan, karena ia tak mampu menampilkan pandangan islam yang murni dalam menghadapi tantangan abad 20. menurutnya, hal itu dikarenakan dua hal: pertama, pengetahuan tentang akidah islam yang diajarkan di madrasah-madrasah beraliran mu’tazili atau asy’ari. kedua, pengetahuan tentang fiqh yang diajarkan di madrasah-madrasah beraliran maliki, hanafi, hambali syafi’I ataupun ja’fari. Menurut Syahrur, apabila penelitian modern dan ilmiah masih terkungkung oleh kedua hal tersebut, maka studi islam berda pada titik yang rawan.
    Lebih Jelasnya silahkan Download Selengkapnya
  • DISINI
  • Abdullah Ahmed An-Na'im

    Abdullah Ahmed An-Na'im, lebih familiar disebut An-Na'im, lahir di Sudan pada tahun 1946, satu tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Na'im meyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Khartoum Sudan dan mendapat gelar LL.B dengan predikat cumlaude. Tiga tahun kemudian (1973) An-Na'im mendapat tiga gelar sekaligus LL.B., LL.M., dan M.A. (diploma dalam bidang kriminologi) dari University of Cambridge, English. Pada tahun 1976, dia mendapat gelar Ph.D., dalam bidang hukum dari University of Edinburgh, Scotland, dengan disertasi tentang perbandingan prosedur prapercobaan kriminal (hukum Inggris, Skotlandia, Amerika, dan Sudan).
    Pada bulan November 1976 sampai Juni 1985, An-Na'im menjadi staf pengajar ilmu Hukum di Universitas Khartoum, Sudan. Pada tahun yang sama (1979-1985) An-Na'im menjadi ketua jurusan hukum publik di almamater yang sama. Pada bulan Agustus tahun 1985-Juni 1992 An-Na'im menjadi profesor tamu Olof Palme di Fakultas Hukum, Universitas Upshala, Swedia. Pada bulan Juli 1992-1993 menjadi sarjana, tinggal di kantor The Ford Foundation untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, di Kairo, Mesir. Pada bulan Juli 1993-April 1995 menjadi Direktur Eksekutif Pengawas HAM di Washington D.C. Dan sejak Juni 1985 sampai sekarang menjadi profesor hukum di Universitas Emory, Atalanta, GA., Amerika Serikat.

    Afiliasi Sosial, Agama Dan Politik
    Selain sosok intlektual yang akademis, yang dibuktikan dengan jabatan-jabatan formalnya di struktur birkrasi Universitas Khartoum, Sudan, dan Universitas Emory, Atalanta, GA., Amerika Serikat. Ahmad Al-Na'im juga sosok aktifis sosial, Hukum, dan politik. Ini dapat diketahui melalui keterlibatannya lembaga HAM,bahkan menjadi Direktur Eksekutif Pengawas HAM di Washington D.C. dapat pula diketahui melalui tulisan-tulisan lepas dan buku-buku karya beliua yang notabene persoalan HAM, Islam, hukum. Abdullah Ahmad Al-Na'im adalah sosok pemikir yang langka, seperti yang disinyalir oleh Myer, bahwa Ahmad Al-Na'im, selain ahli hukum dan Islam diajuga ahli dibidang hubungan internasional. Kepiawaiannya menghubungkan dua displin ilmu yang memiliki akar yang berbeda tersebut, menjadikannya sosok ilmuan yang susah dicari duanya.
    Lebih Jelasnya silahkan Download Selengkapnya
  • DISINI
  • Muhammad Abid Al-Jabiri

    Empat dekade terakhir ini merupakan periode sangat krusial dalam sejarah pemikiran Islam. Karena dalam rentang waktu empat puluh tahun inilah sebuah tren pemikiran dan kesarjanaan Islam baru telah muncul di tengah-tengah masyarakat Muslim. Perkembangan ini ditandai dengan menjamurnya karya-karya akademis dan intelektual yang secara radikal menyikapi warisan budaya dan intelektual Islam. Sulit untuk menafikan bahwa tren ini sangat kuat sekali di pengaruhi oleh apa yang sedang berkembang di dunia filsafat, ilmu-ilmu sosial dan humaniora di Barat. Para advokator pemikiran ini banyak mengadopsi teori kritik, dalam berbagai bentuk ekpresi dan representasinya, mulai dari Hegel hingga Karl Marx dan terus turun hingga ke Hannah Ardent, Max Horkheimer dan Jurgen Habermas, yang dianggap sebagai kekuatan sentral dalam tradisi kritik Barat.
    Bermodalkan dengan perangkat filsafat dan metodologi inilah, para sarjana pendukung gerakan intelektual ini mendekonstruksi hampir kesulurahan bangunan ilmu yang telah dihasilkan oleh para pemikir dan ulama masa silam seperti Tafsir, Fiqh dan Usul Fiqh, Ilmu Hadits, Teologi, Kalam dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena ada anggapan, yang sesungguhnya masih perlu di buktikan, bahwa kemunduran dan keterpurukan masyarakat Arab dan Muslim pada hari ini disebabkan oleh kuatnya cengkraman pola pikir tradisi masa lampau pada masyarakat hari ini
    Salah satu tokoh yang mengusung isu dekonstruksi epistemologi Islam adalah Abid al-Jabiri. Para tokoh Islam liberal di Indonesia acapkali mengutip pendapat beliau dalam menguatkan argumentasi mereka, walaupun para liberalis di Arab tidak se-ekstrim tokoh-tokoh Jil di Indonesia karena mereka tidak menyinggung wilayah sensitif keagamaan, seperti Al Qur’an, syari’at, tetapi mereka hanya masuk lewat pintu turats.
  • DISINI
  • Fazlur Rahman

    Fazlur Rahman merupakan seorang pemikir yang perhatiannya sangat besar terhadap perkembangan dan kemajuan umat Islam. Salah seorang muridnya, Syafe’i Ma’arif, mengatakan bahwa di antara pemikir kontemporer, barangkali almarhum Fazur Rahman dapat dipandang sebagai salah seorang yang paling serius memikirkan persoalan Islam dan umatnya. Pandangan ini tampaknya tidak berlebihan jika memperhatikan kiprahnya yang dinamis dalam menggulirkan ide-ide pembaharuannya demi membangkitkan dan mengembangkan intelektualitas Islam.
    Diakui atau pun tidak, pemikiran-pemikirannya telah memberikan pengaruh yang besar bagi perkembangan intelektual dunia Islam. Bahkan akhir-akhir ini pengaruh pemikiran Fazlur Rahman mulai dirasakan di Indonesia. Sudah cukup banyak karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, setidaknya merupakan bukti bahwa ide-ide Fazlur Rahman mendapat sambutan positif dan mulai dipertimbangkan oleh umat Islam Indonesia.
    Di antara pemikiran yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman adalah perlunya pengembangan metodologi penafsiran al-Qur’an yang memadai, mengingat selama ini umat Islam belum memiliki suatu pedoman yang mendasar mengenai metode dan cara penafsiran al-Qur’an. Pemikiran yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman ini rasanya cukup perlu untuk dipertimbangkan, mengingat umat Islam yang pada saat ini sedang berada dalam kehidupan yang cukup komplek.
    I.Biografi Tokoh
    Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 di tengah-tengah keluarga Malak yang letaknya di Hazara sebelum terpecahnya India, kini merupakan bagian negara Pakistan. Ia dilahirkan dalam suatu keluarga muslim yang amat serius dan dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi madzhab Hanafi. Berdasarkan pengakuannya ia menuturkan: “Kami mempraktikkan ibadah-ibadah keislaman seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkan sekali pun. Ketika saya memasuki usia ke sepuluh, saya sudah dapat membaca al-Qur’an di luar kepala”.
    Dari ibunya ia memperoleh pengajaran tentang nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, kesetiaan, dan diatas segalanya cinta. Ayahnya adalah seorang alim yang terdidik dalam suatu pola pemikiran Islam tradisional. Tetapi, tidak seperti kebanyakan alim tradisional pada masanya, yang memandang pendidikan modern sebagai racun, baik bagi keimanan maupun moralitas. Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangan-tantangan maupun kesempatan-kesempatan.1
    Tahun 1933 ia beserta keluarganya pindah ke Lahore yang saat itu disebut “Kota Taman dan Perguruan Tinggi”. Di sanalah ia masuk sekolah modern. Sementara itu, di rumah ia mendapatkan pengajaran tentang mata pelajaran tradisional dari ayahnya. Setelah menamatkan pendidikan menengah, dia melanjutkan di melanjutkan studinya ke Universitas Punjab, dan memperoleh gelar M.A. dalam sastra Arab pada 1942. Dalam tahun 1946, Rahman melanjutkan studi doktoralnya ke Oxford University di Inggris, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1951. Setelah menamatkan pendidikan di Oxford, ia mengajar selama beberapa tahun di Durham University, Inggris, kemudian di Institute of Islamic Studies, Mc Gill University, Kanada, dan ia menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy.
    Lebih Jelasnya silahkan Download Selengkapnya
  • DISINI
  • SAYYID AMIR ALI

    Sayyid Amir Ali adalah seorang pembaru pemikiran islam, sejarawan, dan ahli hukum. Ia dilahirkan pada tanggal 6 April 1849 di Cuttack, Orissa, India, dan meninggal pada usia 79 tahun, tepatnya pada 3 Agustus 1928 di Sussex, Inggris. Ia merupakan keturunan dari keluarga Arab Syi’ah, yakni dengan Ali ar-Ridlo, imam ke-8 syi’ah yang pada zaman kepimimpinan Nadir Syah (1736-1747) atau pada pertengahan abad ke-18 pindah dari Khurasan, Persia ke Mohan, Oudh di India, dan menetap disana.
    Sayyid Amir Ali memperoleh pendidikanya di perguruan tinggi Hoogly (muhsiniyyah college) dekat kalkuta (calcutta). Disanalah ia mempelajari bahasa Arab, bahasa Inggris, sastra Inggris, serta hukum Inggris. Pada tahun 1869, ia melanjutkan pendidikan atau studinya ke Inggris, dan selesai pada tahun 1873 dengan memperoleh gelar kesarjanaan muda di bidang hukum dan master di bidang sejarah. Dan pada tahun yang sama, Ia berhasil menerbitkan karya pertama dengan judul A Critical Examination of the Life and Teaching of Muhammed di Inggris. Buku pertama tersebut merupakan interpretasi kaum modernis Muslim tentang Islam, yang telah menjadikanya terkenal baik di Barat maupun di Timur.
    Kecintaanya terhadap ilmu pengetahuan, terlebih sejarah dan sastra telah terlihat sejak ia kecil, dimana semenjak belajar di muhsiniyyah college, ia sudah membaca buku-buku penting berbahasa Inggris, seperti : The Decline and Fall of the Roman Empire karya Gibbon, Paradise Lost karya Milton, dan beberapa karya Shakespeare. Bahkan karya Gibbon telah telah selesai ia baca pada saat usianya 12 tahun. Melalui buku-buku itulah timbul dalam dirinya kekaguman terhadap kebangkitan orang islam (saracenic)
    Setelah memperoleh gelar kesarjanaannya tersebut, Sayyid Amir Ali kembali ke India dan bekerja pada berbagai lapangan penting, yakni sebagai guru besar dalam hukum islam, pengacara, pegawai pemerintah Inggris, politikus dan penulis, serta ia terkenal aktif di bidang politik.

    Kegiatan politiknya dimulai Pada tahun 1877, dimana Sayyid Amir Ali mendirikan organisasi yang di beri nama National Muhammadan Association, yakni sebuah organisasi sebagai wadah persatuan ummat islam India yang bertujuan untuk membela kepentingan umat islam serta untuk melatih dan melengkapi orang-orang Muslim India dengan pengalaman teknik politik eropa. Organisasi politik tersebut segera tersebar dan telah menjadi organisasi nasioanal diseluruh India, telah tercatat bahwasanya organisasi tersebut mempunyai 34 cabang di berbagai tempat di India.
    Pada tahun 1883, Amir Ali diangkat menjadi salah satu dari ketiga anggota majlis Wakil Raja Inggris atau Dewan Raja Muda (The Viceroy’s Council) di India, dia merupakan satu-satunyaanggota islam dalam majlis tersebut. Dan pada tahun 1904, ia meninggalkan India dan menetap di Inggris untuk selama-lamanya. Dan kemudian beristrikan orang Inggris. Perpindahanya ke Inggris ini dilakukan setelah ia berhenti dari Pengadilan Tinggi Bengal, dan pada tahun 1906 ia diangkat menjadi anggota The Judical Committee of the Privy Council.
    Setelah berdirinya Liga Muslimin di India pada tahun 1906, ia membentuk cabang dari perkumpulan tersebut di London, namun karena kecintaan dan kesetianya kepada Inggris, maka tatkala Liga Muslimin India mengadakan kerja sama dengan Kongres Nasional India, ia akhirnya mengundurkan diri dari Liga Muslimin.
    Lebih Jelasnya silahkan Download Selengkapnya
  • DISINI
  • QASIM AMIN

    Ketika kita mengkaji pemikiran seorang tokoh, hendaknya kita menguraikan terlebih dahulu latar belakang kemunculan gagasan-gagasannya yang besar karena struktur pemikiran seseorang tidak bisa dilepaskan dari horizon maupun sejarah dan pengalaman hidupnya.
    Qasim lahir di sebuah dusun di daerah Mesir dari seorang Ayahnya, yang bernama Amir MuhammadBek, beliau adalah seorang pegawai pemerintah yang sangat concern dengan masa depan anak-anaknya yang berasal dari Turki Utsmani dan ibu berdarah asli Mesir pada awal bulan Desember tahun 1863 M. Karena tuntutan tugas, Amir Bek pindah ke Alexandria. Ia membawa seluruh keluarganya ke kota itu. Di kota inilah Qasim Amin dibesarkan. Sejak kecil ia sangat tekun dalam belajar . Setelah menamatkan Sekolah Dasar di Alexandria, keluarganya hijrah ke Kairo. Pada tahun 1881, ia mencapai gelar licance dari Fakultas Hukum dan Administrasi dari sebuah akademi. Pada waktu itu, Qasim Amin masih berumur 20 tahun. Semasa kuliah ia sudah berkenalan dengan seorang tokoh pembaru Muslim, Jamaluddin Al-Afghani, dan aliran-aliran pemikirannya yang memang berkembang di Mesir pada saat itu.
    Dengan bekal gelar licance-nya ia bekerja sebagai pengacara pada sebuah kantor milik Musthafa Fahmi Basya, seorang pengacara besar pada saat itu yang memang sudah memiliki hubungan baik dengan orang tua Qasim. Melalu perantara kantornya, Qasim berkesempatan untuk melanjutkan studi di Perancis atas sponsor dari Musthafa Fahmi Basya. Dalam masa perantauannya di Paris, di Mesir sendiri pada saat itu terjadi Revolusi Arab yang dipimpin murid-murid Jamaluddin al-Afghani. Revolusi ini berakhir dengan penjajahan Mesir oleh tentara Inggris dan tokoh tokoh revolusi tersebut dihadapkan ke Meja Hijau. Jamaluddin al-Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh diasingkan dari Mesir, dan pada akhirnya keduanya menetap di Paris. Di sinilah Qasim kembali menjalin hubungan dengan Al-Afghani dan juga menjadi penerjemah pribadi bagi Muhammad Abduh.
    Selayaknya orang asing di kota Paris, ia berusaha untuk bisa berinteraksi dan beradaptasi dengan masyarakat Perancis. Namun karena beliau memiliki kepribadiannya yang mencirikan kepribadian bangsa Timur; pemalu dan tertutup, dan terdapat perbedaan yang sangat jauh antara budaya Perancis dan budaya Mesir, maka ia tidak bisa bergaul dan berinteraksi dengan bebas dan luas. Namun, sebagaimana lazimnya kehidupan mahasiswa dan mahasiswi di kampus, Qasim Amin juga memiliki teman perempuan yang istimewa. Dari kebersamaannya dengan gadis Perancis tadi, disinyalir mulai tumbuh benih-benih kepeduliannya terhadap kaum hawa, yang nantinya membidani perjuangannya di Mesir yang penuh dengan bentuk interaksi sosial yang diskriminatif. Kekasihnya menjadi sumber inspirasi dan penggugah kesadaran bahwa kaum perempuan sebetulnya memiliki kemampuan yang selama ini “tidak pernah difungsikan”.1
    Sekembalinya dari Paris pada tahun 1885, ia diangkat menjadi hakim. Kariernya sebagai seorang hakim semakin meningkat sehingga pada tahun 1889, ia diangkat menjadi walikota di Bani Suef, sebuah propinsi di Mesir. Dari daerah ini ia memulai pergerakannnya dalam mengadakan perbaikan-perbaikan di segala bidang sosial (ishlâh ijtimâ’î). Jasa-jasanya yang patut diacungi jempol pada saat itu, ia berupaya keras membebaskan para narapida politik.
    Tahun 1894, Qasim Amin menikah dengan seorang gadis pilihannya yang masih memiliki darah keturunan Turki, Zaenab Amin Taufiq.2 Dan pada tahun yang sama ia mulai aktif dalam kegiatan tulis menulis, karya pertamanya lahir, “Al-Mashriyyûn” (Les Egyptiens) dengan menggunakan bahasa Perancis. Buku ini adalah counter terhadap tulisan seorang tokoh Perancis, Duc D’harcouri, yang mengecam realitas sosio-kultural masyarakat Mesir. Karya perdana ini rupayanya bisa menggenjot kreatifitas Qasim Amin dalam dunia tulis-menulis.3 Selanjutnya lahir karya-karya Qasim Amin yang menjadi magnum opus-nya, yaitu, “Tahrîr al-Mar’ah’” (Pembebasan Perempuan) terbit pada tahun 1899 dan “Al-Mar’ah Al-Jadîdah” (Perempuan Modern) yang terbit tahun 1900.
    Lebih Jelasnya silahkan Download Selengkapnya
  • DISINI
  • ATHO' MUDZHAR

    Biografi
    Prof. Dr. H. M. Atha’ Mudzhar dilahirkan pada tanggal 20 Oktober 1948 di Kota Serang Jawa Tengah. Tahun 1967, beliau melanjutkan studinya di IAIN Jakarta sebagai mahasiswa tugas belajar dari Departemen Agama, tamat tahun 1975. Tahun 1972-1975, ia mengajar di PGAN Cijantuk Jakarta Timur selama 4 tahun. Mulai akhir tahun 1975, ia pindah tugas ke Badan Litbang Departemen Jakarta Timur. Tahun 1977, selama 11 bulan ia mengikuti program latihan penelitian ilmu-ilmu sosial di Universitas Hasanudin Ujung Pandang. Tahun 1978, ia tugas belajar ke Australia untuk mengambil master of sosial and defelopment pada Universitas Of Queensland Brisbane, ia tamat pada tahun 1981. Pada tahun 1986, ia melanjutkan studinya di University Of California Los Angles di Amerika, dan pertengahan tahun 1990, ia menyelesaikan studinya dengan meraih gelar Doctor of Philosophy dan Islamic. Pada tahun 1991-1994, ia menjabat sebagai derektur pembinaan pendidikan agama Islam pada sekolah umum negeri Departemen Agama. Pada tahun 1994-1996, ia menjadi derektur pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama. Pada tahun 1996, ia menjadi Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ia juga mengajar dibeberapa perguruan tinggi untuk program pasca sarjana, baik yang ada di Yogyakarta maupun di Jakarta
    Persoalan Kegelisahan Akademik
    Reaktualisasi hukum Islam dapat dilakukan melalui pemberdayaan fiqh bila: Pertama, fiqh dipahami sebagai produk pemikiran manusia yang diposisikan sebagai perangkat untuk menyelesaikan masalah-masalah ibadah, sosial dan kehidupan manusia pada umumnya. Karena itu fiqh harus dinamis dalam merespon fenomena-fenomena sosial, bila Islam tidak ingin dianggap seperti baju yang akan dipakai jika dibutuhkan.
    Kedua, umat Islam secara tegas dapat membedakan antara ad-din dan al-afkar al-diniyah. Sementara beberapa kalangan umat Islam di dunia seringkali tidak bisa membedakan antara ad-din dengan al-afkar ad-diniyah. Mereka sering keliru menganggap fiqh sebagai ad-din (hukum tuhan) sebegaimana layaknya As-Sunnah dan Al-Qur’an. Padahal hakika fiqh adalah bagian dari al-afkar ad-diniyah yakni merupakan hasil kerja keras pemikiran mujtahid dalam memberikan kepastian hukum bagi masalah yang tidak ditemukan nash hukumnya secara qath’i baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Adanya kecenderungan elevasi (peningkatan) kedudukan bagi fiqh dikarenakan tidak adanya kesadaran umat Islam bahwa fiqh merupakan produk pemikiran manusia yang bias saja mengalami perubahan karena berubahnya situasi dan kondisi.
    Ketiga, wahyu tetap dijadikan sebagai acuan hukum Islam (fiqh) dan tidak ada kerancuan persepsi terhadap fiqh, hal ini menjadikan pemikiran hukum Islam berada diantara kekuatan akal dan wahyu yang saling tarik menarik dan akibatnya sulit dibedakan antara pengaruh sosio cultural dan politik terhadap hukum Islam.
    Lebih Jelasnya silahkan Download Selengkapnya
  • DISINI