16 August 2010

Khalid Abu Al Fadel

Untuk melihat lebih jauh pemikiran seorang tokoh, tidak terlepas dari pengkajian terhadap biografi ataupun latar belakang kehidupannya mengingat seseorang adalah produk zaman maupun lingkungan di mana ia hidup. Hanya saja terkait dengan biografi Khaled Abou el-Fadl sepengetahuan penulis belum terdapat satu buku yang ditulis oleh para ilmuwan yang memuat biografi Khaled. Maka penulis dalam hal ini mengelaborasi antara artikel yang ditulis oleh Hasan Basri Marwah dengan biografi singkat beliau yang tertulis disetiap cover karya tulisnya.
Khaled lahir di Kuwait pada tahun 1963 dari keluarga terdidik yang sederhana. Orang tuanya adalah muslim yang taat dan sangat terbuka dalam bidang pemikiran. Diakuinya dengan jujur, bahwa pada masa remaja ia terlibat dalam gerakan puritanisme yang memang subur di lingkungannya. Hari-harinya dipenuhi dengan utopia tentang sebuah kelompok terbaik dan kelompok yang mewakili Tuhan di atas bumi. Selain itu, setiap kali bertemu dengan orang, dia menyampaikan ajaran puritanisme yang dianggapnya paling benar. Tak terasa sebagian masa remajanya habis tersedot oleh mimpi puritanisme yang membuatnya benci, tertutup, dan marah-marah pada orang lain di luar kelompoknya.
Dengan bacaan yang luas mengenai tradisi Islam dan dukungan keluarga Khaled mulai menyadari adanya kontradiksi dan persoalan akut di dalam konstruksi ideologis dan pemikiran kaum Wahabi. Klaim mereka atas banyak masalah justru bertentangan dengan semangat ulama masa lalu dalam memandang agama Islam. Kesadaran akan pentingnya keterbukaan dalam pemikiran semakin berkembang ketika akhrinya dia menetap di Mesir. Di negeri Piramid tersebut ruang tidak terlalu sesak seperti yang dialaminya di Kuwait. Menurutnya, sebuah sistem kekuasaan yang represif dan otoriter tidak akan pernah melahirkan kemajuan berfikir atau pencerahan intelektual bagi masyarakatnya.
Ketika menempuh pendidikan lanjutan di Yale University, Amerika Serikat untuk meraih B.A (Bachelor of Art) kegelisahan mengenai puritanisme Islam terus menjadi beban yang tak terhapuskan. Namun tugas-tugas belajar menyedot energinya. Selepas dari Yale tahun 1986 Khaled melanjutkan ke University of Pennsylvania yang diselesaikan pada tahun 1989. Pada tahun 1999 dia melanjutkan ke Princeton University dengan spesialisasi dalam bidang Islamic Studies yang pada saat bersamaan ia harus menempuh studi Hukum di UCLA. Akhirnya di UCLA pula ia membangun karir kesarjanaan dalam bidang Hukum Islam. Selama menempuh kuliah Khaled sempat menjadi Panitera di Pengadilan negara bagian Arizona. Pernah juga menjadi praktisi hukum dalam masalah hukum imigrasi dan investasi.
Saat ini beliau menjadi profesor hukum Islam di UCLA, Amerika Serikat serta menjadi salah satu pengajar di Princeton, University of Texas, dan Yale university. Selain kegiatan tersebut beliau juga menjadi seorang aktivis dalam bidang HAM dan hak-hak Imigran. Selama beberapa tahun terlibat sebagai board name pada Directors of Human Rights Watch dan Comission on International Relegious Freedom di Amerika Serikat.
Di kenal oleh banyak teman dekatnya sebagai penggemar musik, terutama musik Arab. Dia penggemar berat legenda Diva Arab (sayyidah al-Ginaa ) Ummi Kultsum. Sambil mendengarkan musik, hari-harinya diisi dengan membaca koleksi buku-bukunya yang mencapai kurang lebih 40.000 koleksi di perpustakaan pribadinya.

Kegelisahan Akademik
Puritanisme merupakan persoalan yang seakan menjadi beban dalam kehidupan seorang Khaled, hal ini seperti tampak dalam uraiannya mengenai puritanisme yang beliau tuangkan dalam karya tulisnya selamatkan islam dari muslim puritan. Beberapa kritikan terhadap paham keagamaan kaum puritan yang dalam hal ini adalah keagamaan kaum wahabi terurai berhalaman-halaman dalam karya tersebut.
Berbeda dengan nuansa sebelumnya, dalam karya atas nama tuhan ini, tampaknya yang menjadi kegelisahan beliau adalah maraknya otoritarianisme dalam diskursus islam kontemporer, padahal menurutnya sikap otoritarianisme para elit agama sangatlah bertentangan dengan tradisi hukum islam klasik yang antiotoritarianisme.
Sikap otoriter para elit agama berangkat dari penuhanan terhadap interpretasi atas teks yang pada gilirannya timbul anggapan bahwa tafsirannya adalah satu-satunya interpretasi yang dikehendaki oleh pembuat teks. Padahal seperti dikatakan Amin Abdullah, ketika proses pemahaman teks yang sesungguhnya bersifat interpretatif dibatasi oleh para elit agama yang mengatas namakan tuhan, maka sebenarnya ia telah terjerumus ke dalam sifat despotisme interpretasi.
Persoalan inilah yang menurut Khaled telah dipertontonkan oleh sebuah lembaga keagamaan ternama di Arab Saudi yang diberikan kepercayaan untuk mengeluarkan fatwa-fatwa, yaitu CRLO (Council For Scientific Research And Legal Opinion) atau dalam bahasa Arab diistilahkan dengan al-Lajnah Daimah Li Buhutsi al-Ilmiyyah Wa al-Ifta yaitu semacam sebuah lembaga yang dipercaya untuk melakukan sebuah kajian ilmiah dan fatwa.
Lebih Jelasnya silahkan Download Selengkapnya
  • DISINI
  • 1 komentar:

    Anonymous said...

    But Rangel is smart Moncler enough to recognize at least a measure of the truth in what Tasini is saying: Moncler Boutique The congressman’s troubles are not his

    Post a Comment