16 August 2010

Islam, Politik dan Perempuan

Setiap manusia memiliki hak dasar atas eksistensi kemanusiaannya, yang terangkum dalam al-kulliyyah al-khamsah yang meliputi hak beragama (hifdz al-din), hak hidup (hifdz al-hayah), hak berketurunan (hifdz al-nasl), hak berfikir (hifdz al-aql) dan hak atas harta dan memperoleh sarana kehidupan (hifdz al-mal). Manusia sebagai mahluk Tuhan yang bermartabat, memiliki multi predikat, yakni sebagai mahluk terbaik dan termulia, pemegang amanah, bertanggung jawab, memiliki hak pilih bebas, menyandang kelemahan, menyandang peran ganda serta menyimpan fitrah ber-Tuhan.
Untuk merealisasikan predikatnya di atas, Tuhan menyediakan sarana yang diperuntukkan manusia, dalam rangka mengemban tugas dan amanah sebagai khalifah, yang memiliki kewajiban untuk memakmurkan bumi dan mensejahterakan hidup. Dengan demikian, ia memiliki tanggung jawab terhadap segala jalan hidup (gelap-terang) yang telah menjadi pilihannya. Di sinilah jiwa manusia diuji, apakah ia mampu mendominasikan potensi konstruktif (taqwa) atau sebaliknya mendominasikan potensi destruktifnya (fujur), yang mengantarkannya ke jalan kehidupan yang penuh la’nat.
Oleh karena itu, diperlukan maksimalisasi fungsi pikir, dzikir dan kreativitas setiap manusia, yang berbasis pada nilai-nilai Ilahi. Dengan adanya eksploitasi terhadap perempuan, berarti ada pengingkaran dan perampasan terhadap hak dasar setiap orang bahwa ia memiliki kebebasan dan kemerdekaan berfikir dan berkreativitas (hifdz al-’aql), tidak sebaliknya menjadi obyek dan kreativitas terpasung oleh sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan perempuan marjinal dan subordinate.
Penafsiran terhadap QS. 4:34, butir ayat yang berbicara tetang posisi dan kepemimpinan laki-laki atas perempuan, marupakan satu masalah yang sering dijadikan contoh oleh kalangan feminis muslim untuk menunjukkan bagaimana diskriminatifnya penafsiran tradisional terhadap perempuan. Bias gender berupa penempatan laki-laki di atas perempuan, selanjutnya menandai bagaimana penafsir selalu berusaha menempatkan laki-laki pada possisi superior. Karenanya, para feminis muslim menyepakati tentang perlunya memahami ayat ini melalui pendekatan kontekstual, dengan tidak hanya terpaku pada makna literalnya serta mengkaji konteks asbabul wurud-nya.
Jika pada umumnya mufassir klasik (dari mazhab apapun) --lewat pemahaman mereka terhadap ungkapan qawwam-- menggunakan ayat ini sebagai sebuah legalitas normatif kepemimpinan laki-laki atas perempuan --dalam rumah tangga saja atau sekaligus dalam milleau dan aspek yang lebih luas, maka menurut Asghar Ali Engineer, dengan hanya bersandar pada aspek literal ayat ini tidak cukup untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an memutlakkan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan.

Apabila memperhatikan dua konsideran ayat tersebut (bima faddhalallahu ba'dhahum 'ala ba'dhin wa bima anfaqu min amwalihim) dan mengaitkannya dengan QS.2:228, maka sebenarnya ayat tersebut hanya berbicara tentang kepemimpinan rumah tangga (suami terhadap istri) dan inipun hanya dalam konteks fungsi ekonomisnya. Konsideran ayat tersebut adalah kalimat bima faddhalallahu ba'dhahum 'ala ba'dhin dan bukan bima faddhalallahu ba'dhahum 'ala ba'dhihinna, merupakan respon A-Qur'an terhadap fenomena bahwa tidak semua laki-laki memiliki kelebihan atas yang lain (atas laki-laki maupun perempuan). Hal ini dimungkinkan ada sebab cacat jasmaninya sehingga si laki-laki tersebut tidak mampu memberikan nafkah terhadap keluarga, atau cacat rohani sehingga tidak mampu memimpin keluarganya dan sebagainya. Dengan demikian, menurut penafsiran kontekstual, kepemimpinan laki-laki atas perempuan juga bersifat kontekstual. Sebagai konsekuensinya, perempuan bisa menjadi pemimpin, baik dalam keluarga maupun dalam jabatan-jabatan di sektor publik, seperti jabatan politik.
Interpretasi yang menganggap bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan tersebut normatif sifatnya, mendukung interpertasinya dengan Hadis Nabi tentang tidak sejahteranya sebuah bangsa yang menyerahkan kepemimpinannya pada kaum perempuan (HR. Al-Bukhari). Hadis tersebut sesungguhnya bisa dimaknai dalam konteks sebagai berikut: pertama, hadis tersebut berlaku khusus, yakni respon basyariah (aspek kemanusiaan) Nabi terhadap pengangkatan putri Kisra, Bahram binti Kisra sebagai kaisar yang menggantikannya; kedua, hadis tersebut bersifat informatif sehingga tidak memiliki relevansi hukum jika ditarik sebagai justifikasi larangan kepemimpinan perempuan secara umum; ketiga, kapasitas dan kapabilitas putri Kisra perlu dipertanyakan mengingat situasi dan kondisi secara umum masyarakat Persia saat itu, yang tidak memberikan keleluasaan kepada perempuan untuk mengakses dunia publik; keempat, beberapa kalangan --terutama kalangan feminis muslim-- juga mempertanyakan status dan validitas hadis tersebut, baik dari aspek sanad maupun matannya. Meskipun penulis berkeyakinan akan kesahihan validitas sanad hadis tersebut, namun pemahaman kontekstual, dengan mengkaji secara serius aspek-aspek yang mendasari atau melatari munculnya teks hadits (asbab wurud al-hadits) sebagaimana yang digagas al-Syafi'i perlu menjadi pertimbangan penting.
Jika pada masa awal-awal kelahirannya, Islam identik dengan isu dan wacana pembebasan perempuan, maka kini ada kecenderungan "warna" Islam yang identik dengan pembatasan terhadap perempuan. Di penghujung abad ini banyak negara Islam melakukan revolusi dan reformasi dengan mengambil tema keislaman. Namun demikian, seringkali yang terjadi di pasca-revolusi dan reformasi adalah pengekangan terhadap perempuan. Islamisasi suatu negara seolah-olah berarti “merumahkan” perempuan atau jilbabisasi perempuan. Iran, Pakistan, Aljazair, dan Afganistan dapat menjadi contoh dari fenomena tersebut. Bagaimana Islam dijadikan dalil untuk mencopot pegawai negeri di sejumlah daerah di Afghanistan dengan alasan perempuan tidak boleh bekerja di bidang publik.
Lebih Jelasnya silahkan Download Selengkapnya
  • DISINI

  • 0 komentar:

    Post a Comment