17 August 2010

Pesona Bunda

Bunda adalah kejora,
Karena setiap geriknya benderang sayang
Bunda adalah bunga
Selalu berseri, berwarna dan mempesona
Bunda adalah surga
Helai nafasnya tidak hanya cinta tapi juga doa
Dalam semesta,
Tak ada yang lebih kemilau menyala
Kecuali bunda
(Bunda, mahabbah12)

Hari masih belia. Udara sejuk jelas terasa. Dan sesosok ibu tengah berjongkok di depan putri kecilnya yang terus saja menangis. Ada banyak rengkuhan yang dipersembahkan, dan saya yakin hangatnya mengalahkan sinar mentari yang bersinar saat itu. Si kecil terdiam, bola matanya merajuk sang bunda. Mulut mungilnya mengerucut sesaat.
"Ma, adek takuuttt..." perlahan suaranya terdengar samar, ia hampir berbisik di pendengaran.
"Ooh, adek takut ya, nanti mama bilang sama bu guru supaya nemenin adek," binar itu menelaga. Tangan bunda membelai lagi punggung itu, sebelum merapikan topi dan dasi yang sejak dari tadi sudah rapi. Ia akan berdiri namun urung.

"Mama kasih sun dulu deh..." dua buah kecupan segera singgah di pipi si kecil. Barulah ia berdiri, menggenggam erat tangan itu dan beranjak menuju gerombolan anak-anak seusianya.
"Nah, sebelum ketemu bu guru sekarang adek berbaris dulu yah, mama di sini ngeliatin adek," titah bunda terdengar membujuk. Si kecil nampak ragu, namun ketika dilihatnya bundanya berdiri tak jauh darinya, ia menurut. Sesekali si kecil berpaling mencari bundanya, dan selalu binar yang menelaga yang dijumpainya. Bahkan terakhir bundanya mempersembahkan sun jauh ke arahnya. Si kecil tersenyum dan membalas sun jauh itu lebih mesra. Subhanallah. Saya yang sejak tadi memperhatikan keduanya mengagungkan nama Allah secara spontan. Sang ibu menoleh ke arah saya.

"Wah bu, pake kiss bye segala," Saya tersenyum ke arahnya dan mendekatinya. Dan seketika semburat merah itu nampak.
"Eh..eh kirain ngga ada yang merhatiin, jadi malu"
"Iya tuh, anak saya apa-apa minta di sun. Kalo udah ada sun dari mamanya dia biasanya tenang dan nurut," tambahnya ringan. Saya mengangguk-angguk dan melihat si kecil itu. Dan benar saja ia tak lagi terlihat gelisah. Bahkan untuk selanjutnya ia seperti larut dalam keceriaan anak-anak seusianya.

Hari itu adalah hari pertama masuk sekolah. Kebetulan saya disuruh kakak untuk menunggu keponakan yang baru naik ke kelas dua SD karena ia sendiri harus mengantarkan anak bungsunya yang baru masuk TK. Maka sayapun melahap banyak kejora ibunda.. Seperti kisah seorang ibu yang membujuk anaknya yang baru masuk kelas satu dengan kiss bye tadi.
Saat itu, ingatan ini hinggap pada Aufa, keponakan saya yang baru berusia satu setengah tahun. Entah kenapa ia juga berlaku seperti si kecil tadi. Aufa akan merasa nyaman ketikan kecupan sang ummi menjumpainya. Ketika kepalanya terbentur, maka tangisannya berhenti saat kecupan sayang bundanya singgah di bekas benturan. Ketika tangannya gatal-gatal, amukannya segera surut kala sun cinta ibunda melekat di tangannya. Bahkan jeritan Aufa bisa langsung pupus, ketika iming-iming kecupan bunda didengarnya, padahal saya tengah menggodanya tanpa ampun.
Ah, adapakah dengan kecupan ibunda. Kesayangankah? Ketulusankah? Kekuatankah? Kedamaiankah? Surgakah?
Apapun, itu adalah pesona.
***

"Aduhh."
Kosakata itu sudah menggema beberapa kali pagi. Saya bisa memastikan ia pasti tengah mendekap bayi mungilnya dengan wajah keruh. Pasalnya menurut saya sepele. Adek bayinya digigit nyamuk lagi dan bekasnya menjadi titik merah yang ukurannya kecil saja. Tapi baginya tidak demikian. Ia sungguh tidak rela. Dan ekspresinya terjelmakan dengan marah-marah.
Maka malam-malamnya adalah waspada. Demi menyelamatkan bayi yang umurnya masih bisa dihitung dengan bilangan jari di tangan, maka ia rela melewatkan tidurnya untuk meronda. Ia sudah melakukan banyak cara. Kemarin sebuah kelambu ukuran besar menjadi aksesori kamar. Malam sebelumnya ia telah memproteksi si kecil dengan sarung tangan, sarung kaki dan memakaikan topi. Tapi tetap saja, bekas merah itu dijumpainya lagi pagi ini.
Maka sayapun menyeringai mendengar keluhan panjangnya. Apa lagi yang akan dilakukannya nanti malam, pikir saya.
Dan malam itu, ia terlihat lain. Dengan kostum tidur yang sungguh ?seksi ? ia berbaring di sebelah bayi mungilnya yang tengah terlelap. Saya bukan terpesona dengan kostum tidurnya yang menyeramkan. Saya hanya terpesona dengan jawaban atas pertanyaan saya kenapa ia memakai kostum demikian padahal ia bisa saja masuk angin.
"Umminya masuk angin ga pa pa asal adek selamat, biar tubuh umminya saja yang digigit nyamuk," jawabnya kalem.
Duh, hati saya hening. Mencerna. Demikian mempesona ikhtiar seorang bunda. Padahal ia baru menyandang gelar itu beberapa hari yang lalu.
***

Sahabat, saya yakin pesona bunda telah seringkali menyapa dan menjumpaimu setiap saat. Bisa jadi lewat doa, rengkuhan, kecupan, senyuman bahkan menu makanan yang terhidang. Lalu pernahkah kita membuat ibunda terpesona? Hmmm...

Husnul Rizka Mubarikah

0 komentar:

Post a Comment